Kata beberapa pakar marketing, ketika kita sudah sulit mencari keunggulan kompetitif dalam brand kita, masih ada senjata andalan yang bisa dimanfaatkan, yaitu pelayanan konsumen (customer services). Karena menurut para pakar pelayanan merupakan bentuk keunggulan yang tidak mudah ditiru serta intagible.

Bahkan menurut salah satu buku yang di tulis Hermawan Kartajaya dan timnya, beberapa perusahan sebut saja Blue Bird Taksi menjadikan pelayanan konsumen sebagai bagian dari positioning mereka. Yang kemudian dikemas dengan berbagai cara untuk diwujudkan sebagai diferensiasi Taksi Blue Bird dengan taksi yang lainnya.

Namun pemandangan berbeda saya rasakan saat mencoba menikmati sajian kuliner bebek di daerah Barata (nama warungnya sengaja saya rahasiakan, karena saya tidak ingin blog ini menjadi bagian dari “Blog Kill The Brand”). Apa yang baru-baru ini banyak saya pelajari mengenai brand, positioning, dan diferensiasi ternyata tidak serta merta berlaku di banyak usaha terutama dalam skala mikro.

Jujur, sebagaiĀ  konsumen (yang dalam praktek marketing seharusnya diperlakukan sebagai raja) saya sangat kecewa ketika mencoba kuliner bebek beberapa waktu lalu. Berangkat dari rasa penasaran (setelah membaca ulasan mengenai bebek-bebek enak dimilis kuliner), sepulang dari kantor saya mampir ke warung bebek yang berada tidak jauh dari kali Ngagel itu.

Sesampai disana sebenarnya saya sudah mencium “aroma” tidak sedap. Bukan dari rasa bebeknya, tapi dari raut muka para penjualnya yang memasang tampang “mbecengut” ditambah logat “Arudam” (baca terbalik)-nya. Bukannya saya rasisme atau SARA, namun bila disurvey memang sering kali saudara saya yang berasal dari pulau Garam itu kerap kali lemah dalam hal customer relationship saat berdagang/bisnis.

Saat saya datang, warung tersebut sudah dijubeli para pembeli. Entah alasan apa (karena secara taste, sebenarnya bebek di tempat itu tidak teristimewa jika dibandingkan bebek-bebek lain di Surabaya) para pembeli saat itu membludak dan rela menunggu nasi yang waktu itu masih belum matang (karena sebelumnya kehabisan). Saat itu jam sudah menunjukan lebih dari jam 9 malam.

Ditengah menunggu matangnya nasi, jangankan alih-alih menghibur pembeli yang jemu menunggu di tempat yang sempit itu, kondisi yang ada malah pelayan beberapa kali menunjukan respon yang kurang menyenangkan saat melayani pembeli yang baru datang. Keadaan kurang menyenangkan ternyata juga berlanjut saat saya selesai makan dan membayar pesanan saya. Kata terima kasih pun ternyata tak sedikitpun keluar dari mulut penjual. Malah entah karena tergesa-gesa atau alasan lainnya, uang kembalian pun diberikan seenaknya kepada saya.

Saat kekecewaan itu terbawa saat perjalanan pulang kerumah, sejurus kemudian saya teringat ketika makan di depot Nasi Udang Bu Rudy. Saat itu, saya mengajak pacar (yang saat ini menjadi mantan pacar) saya untuk mencicipi nasi udang yang terkenal dengan sambal bawangnya itu. Sebenarnya saya sendiri telah beberapa kali mencoba nasi udang Bu Rudy, namun saya belum pernah makan langsung di depot pusatnya yang berada di Jalan Dharmawangsa. Karena sebelumnya pernah merasakan masakannya, saya pun tentu sudah punya nilai untuk nasi udang Bu Rudy. Dan menurut saya nilai itu tak terlalu istimewa. Namun karena ingin menyenangkan sang pujaan hati, saya pun tak segan mencicipinya untuk kesekian kali.

Sewaktu makan di depot pusatnya, ternyata disana ada sang owner yaitu Bu Rudy. Tanpa saya sangka ternyata Bu Rudi memberikan pelayanan yang menurut saya sangat menyenangkan pembeli. Wanita paruh baya itu berusaha menyapa para pembelinya dari meja ke meja dengan membawa raket lalat (seolah sambil mengusir lalat yang hinggap di meja pembeli). Ada beberapa bahan pembicaraan yang diangkat Bu Rudy saat menyapa pembelinya yang sedang makan, diantaranya menanyakan bagaimana rasa masakannya, bagaimana daging empalnya, menawarkan minuman kesehatan yang ada didepotnya, sampai ia cerita kenapa ia enggan mem-franchise-kan depot miliknya.

Sungguh sebuah perasaan berbeda yang saya alami saat makan nasi udang Bu Rudy dengan makan bebek Barata. Walaupun saya tidak begitu selera dengan nasi udang Bu Rudy, namun karena pelayanan yang menyenangkan kemungkinan saya tidak segan bila mengantarkan seorang tamu/teman saya untuk mencoba kuliner Surabaya ke Bu Rudy. Namun jika seorang tamu/teman saya ingin mencoba kekhasan bebek Surabaya, sepertinya saya berpikir dua kali untuk saya antarkan ke Barata. Walau agak jauh sepertinya saya lebih memprioritaskan untuk ke bebek HT, bebek Pahlawan, bebek Kayu Tangan, atau bebek-bebek yang lain.

Ironis memang, ditengah persaingan yang begitu ketat, penjual bebek di daerah Barata itu masih aja “pede” dengan menomer duakan pelayanan pembeli. Kenapa mereka tidak berpikiran bagaimana jika, Bebek HT, Bebek Pahlawan, Bebek Pak Komar, dan bebek-bebek istimewa lainya buka cabang didekat mereka jualan? Yang kemudian berimbas pada beralihnya para pelanggannya ke warung bebek yang lain.

By Gunawan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *