Oleh : Gunawan Sutanto Wartawan Jawa Pos
MENGIKUTI alur konflik Kebun Binatang Surabaya (KBS) seolah tiada habisnya. Jauh sebelum saya menjadi wartawan dan bertugas meliput konflik di KBS, ternyata senior-senior saya juga memiliki cerita yang sama. Cerita seputar eker-ekeran kepengurusan dengan dalih konservasi.
Mengikuti dan mendengar konflik di KBS mengingatkan saya pada cerita sinema Indonesia yang pernah ditayangkan di salah satu TV swasta, Misteri Gunung Merapi. Anda tentu masih ingat cerita perseteruan antara Sembara dan Mak Lampir yang berepisode-episode itu.
Saking lamanya, lakon yang bermain di setiap episode pun berganti-ganti dan si tokoh utama, Simbara dan Mak Lampir, hanya berada di balik layar. Hal yang sama terjadi di KBS. Konflik yang terjadi sebenarnya juga merupakan perseteruan tokoh itu-itu saja. Hanya, dalam perjalanannya, tokoh utama sering berada di balik layar.
Saya sebenarnya sempat optimistis konflik berebut ”ngopeni satwa” itu akan berakhir dengan adanya keputusan Kementerian Kehutanan menunjuk tim manajemen sementara KBS. Dengan hadirnya tim tersebut, otomatis kubu-kubu yang bertikai harus out dari KBS. Sebab, kubu yang bertikai selama ini juga selalu tidak pernah berhasil diislahkan.
Bukan hanya saya yang senang, karyawan KBS yang selama ini memang sungguh-sungguh menjalankan konservasi satwa merasakan hal yang sama. Kedatangan tim itu diharapkan bisa membuat mereka bisa bekerja maksimal.
Awalnya saya memandang kedatangan tim manajemen sementara KBS itu akan membentuk pengelola KBS secara definitif melalui fit and proper test. Menyeleksi orang-orang yang punya kepedulian dan keahlian konservasi untuk duduk ngeramuti KBS.
Tapi, betapa terkejutnya saya ketika tim manajemen sementara KBS tersebut ternyata lebih memilih mengislahkan lagi kubu-kubu yang selama ini bertikai. Padahal, islah tersebut sudah berapa kali menemui jalan buntu.
Saya hakulyakin, kalau dilakukan lagi, islah tersebut tidak akan berhasil. Sebab, tidak mudah menyatuhkan kepentingan-kepentingan berbeda di KBS. Seperti halnya cerita Misteri Gunung Merapi, di KBS juga ada peran lakon maupun antagonis. Yang antagonis punya kepentingan soal fulus dengan mengesampingkan kepentingan konservasi. Sebaliknya, sang lakon berusaha membongkar tabir kesalahan musuhnya.
Pada bagian lain, tim manajemen sementara KBS, tampaknya, mulai pincang. Sebab, pemkot yang ditunjuk masuk sebagai bagian dari anggota tim tidak pernah hadir dalam kegiatan operasional KBS sejak tim manajemen sementara bekerja. Padahal, peran pemkot di tim adalah mengelola keuangan.
Kabar yang beredar, pemkot gelo karena Kemenhut tidak mengabulkan permintaan mereka untuk me-take over KBS. Pemkot sebenarnya ingin KBS diambil alih dan dijadikan BUMD. Alasannya, pengelolaan sepenuhnya bisa dikontrol pemkot dan konflik berebut pengelolaan bisa dihindarkan.
Pemkot sebenarnya sah saja meminta KBS menjadi BUMD. Maklum, tanah di Jalan Setail itu merupakan aset pemkot. Tapi, ada yang meragukan. Kalau berbentuk BUMD, KBS belum tentu jauh lebih baik dari sekarang. Sebab, menurut penuturan mantan pengurus Persatuan Kebun Binatang Se-Indonesia (PKBSI), mayoritas kondisi kebun binatang yang dikelola pelat merah di bawah stadar.
Ya, kita tunggu saja apakah tim manajemen sementara KBS itu bisa membuat keputusan yang tepat untuk KBS. Atau, mereka ingin memperpanjang episode konflik di KBS dengan kembali mengislahkan kubu yang bertikai? Kalau iya, jadilah konflik KBS episode atau session baru, seperti halnya Misteri Gunung Merapi atau Cinta Fitri yang ber-session-session.
Kadang saya heran juga melihat konflik di KBS. Kenapa kok tidak pernah berakhir? Sebab, dari cerita sejarawan di Surabaya maupun orang yang mengaku keluarga Hompes (orang Belanda pengelola terakhir KBS sebelum jatuh ke tangan Indonesia), dulu pengelolaa KBS di bawah orang Belanda jauh dari kisruh berebut pengelolaan. (*)
saya@gunawan.id