Salah satu kontestan di acara idola cilik yang membuat saya kagum adalah sosok Fauzia Irva Kekaguman itu muncul sesaat setelah perempuan cilik itu tereleminasi dari acara atau istilah dalam idola cilik, tinggal kelas.
Ternyata Irva tidak hanya memiliki badan yang besar (gendut), namun putri kelahiran Bandung itu memiliki sesuatu yang lebih “besar” lagi, yang tidak dimiliki hampir semua anak-anak lainnya, yaitu Jiwa yang BESAR.
Kebesaran jiwanya ditunjukan pada penampilannya yang tetap senyum, santai dan masih bisa menghibur temannya yang terlibah sedih menunggu hasil eleminasi. Ketika memasuki detik-detik menentukan, Irva tetap santai, sepertinya ia paling siap ketika harus tereliminasi. Bahkan yang paling mengharukan, ketika pengumuman menujukan dirinya yang harus tinggal kelas, terlihat dalam layar kaca Irva malah berkata pada teman-temannya untuk tidak menangis (karena kesedihan teman-temannya kehilangan Irva).
Sebenarnya jika penilaian idola cilik tersebut tidak berdasarkan polling SMS, maka kemungkinan besar Irva akan melaju terus hingga babak selanjutnya. Kualitas suaranya sangat memukau untuk ukuran anak sebayanya, atau jika dibandingkan dengan beberapa konstestan yang masih bertahan. Bahkan komentar yang disampaikan komentator acara pun selalu positif untuknya.
Berdasarkan apa yang pernah saya tonton di episode idola cilik sebelumnya, ternyata bakal bernyanyi Irva ditemukan tanpa sengaja oleh guru keseniannya. Dan guru kesenian SD tempatnya bersekolah itu juga tenyata yang menemukan bakat nyanyi seorang Melly Goslow dan Nike Ardilla. Sayang memang, calon bibit unggul penyanyi besar gugur hanya gara-gara polling SMS.
Saya yakin pasti banyak orang yang juga terkesan dengan penampilan atau mengidolakan sosok Irva, namun saya juga yakin banyak yang enggan mengirimkan SMS untuk dukungan kepadanya, berdasarkan banyak alasan tentunya. Apalagi acara ini untuk anak-anak, dimana belum tentu setiap anak memiliki handphone. Belum tentu juga jika mereka punya handphone, saldo yang ada dalam handphonenya lebih dari dua ribu (setidaknya untuk mengirim lebih dari satu SMS). Kalaupun lebih dari dua ribu, pasti juga mereka berpikir ulang untuk mengirim banyak SMS, karena takut kena marah orang tuanya.
Nah kalau Irva harus berharap SMS dari pemirsa diluar anak-anak, pasti juga berat. Apalagi ditengah kondisi ekonomi seperti ini, kebanyakan orang justu berpikir dan memutar otak untuk dapat menghemat segala pengeluaran. Dari pada untuk mengirim SMS, kan lebih baik untuk membeli seliter minyak tanah yang semakin melangit dan sulit. Belum lagi kalau pemirsa yang berpikiran bahwa poling SMS atau SMS premium hanyalah sebagai bentuk komersialisme baru dunia hiburan.
***
Kembali ke Irva, kekaguman saya atas kebesaran jiwanya memang baru saya bandingkan terhadap konstentan cilik lainnya, baik yang masih bertahan atau yang sudah tereliminasi sebelum-sebelumnya.
Kalau anak-anak sebayanya belum siap menerima kekalahan itu memang wajar. Jangankan para kontestan idola cilik, wong para elite politik negeri ini yang sudah “gerang daplok” (Tua) aja masih belum siap kalah, mereka hanya siapa menang. Mau bukti ? coba liat berapa banyak yang melayangkan gugatan bentuk apapun terhadap lawan politiknya dalam pemilihan-pemilihan demokrasi. Bahkan ada yang lebih memalukan sudah kalah, eh bukannya berbenah diri malah saling mengolok yang tidak penting. “Goyang Poco-poco lah”, “Seperti Undur-undur lah” , “Tebar Pesonalah” dan sebagainya. Malah saking lebih parahnya, para elite yang kalah banyak yang memilih jadi oposisi (yang cenderung melawan) dari pada bekerja bersama pemenang.
Saya melihat beberapa adik-adik yang ada di idola cilik masih belum siap menerima kekalahan (sekali lagi itu sangat wajar). Raut kegisah, gundah, bahkan cucuran air mata banyak menghiasi mimik mereka. Dan sekali lagi itulah yang tidak ditampakan oleh Irva. Bahkan anak seperti Siti (konstent dari Surabaya yang berasal dari pengamen jalanan) pun tak kuasa menahan air mata dan kesedihannya, ketika ia harus mendapatkan rapot merah (istilah untuk penampilan yang buruk). Siti yang setiap hari di jalanan Surabaya diterpa dengan kerasnya kehidupan, masih harus “sesenggukan” (menangis) ketika ia harus bernyanyi untuk memperbaiki penampilannya. Sedangkan Irvi yang terlihat “anak rumahan” malah tegar hingga hasil menunjukan ia harus tereliminasi. Saat ia diminta bernyanyi untuk terakhir kalinya di panggung idola cilik pun ia masih mampu menghibur penonton dengan suara merdunya, tanpa raut kesedihan dan tetesan air mata. Sesekali malah ia merangkul teman-temannya yang merasa sedih kehilaangannya.
Semoga walau tersisih gara-gara polling SMS, sosok Irvi bisa menjadi teladan dan contoh bagi kita semua. Bahwa ketika kita dihadapkan pada penentuan apapun, kita harus siap kalah…bukan hanya siap menang ! Ingat itu calon Gubernur Jatim 2008…Ingat itu calon Presiden 2009.
0 comments on “Belajar Dari Penyanyi Cilik”Add yours →