Oleh : Gunawan Sutanto
MASIH ingat film Tarzan Kota yang diperankan almarhum Benyamin Sueb? Kisahnya tentang anak rimba yang bermigrasi ke kota. Kalau saja tokoh itu nyata, mestinya dia pantas didapuk sebagai pengurus Kebun Binatang Surabaya (KBS). Atau, paling tidak si Benyamin, eh, si Tarzan itu layak menjadi ketua tim pencari fakta untuk mengakhiri konflik di KBS.
Kenapa Tarzan? Ya iya lah. Di dalam cerita, Tarzan bisa berkomunikasi dengan hewan. Dia dekat dengan satwa apa pun. Sampai-sampai makan telur pun tak mau karena dianggap makan kawan.
Dengan kemampuan dan naluri tersebut, saya berpendapat, Tarzan pasti bisa merampungkan problem KBS. Tinggal tanya ke 4.399 satwa koleksi KBS, pasti ketahuan siapa yang bikin benang ruwet masalah KBS tambah mbulet. Satwa-satwa itu kan yang selama ini merasakan dampak konflik ”abadi” KBS. Satwa tersebut bisa curhat, apakah mereka selama ini diperlakukan sesuai kaidah konservasi atau tidak. Satwa-satwa itu pun bisa cerita soal kematian Melly, harimau betina yang tewas pada Agustus. Atau kematian 364 satwa tahun lalu. Bayangkan, rata-rata hampir tiap hari ada satwa yang mati.
Kalau curhat, satwa itu pasti akan blak-blakan. Mereka kan steril pada tekanan atau bisa melunak karena bargaining dengan kubu tertentu. Hewan-hewan tersebut pasti akan he-eh saja pada kelompok yang punya jiwa konservasi tinggi, setinggi H.F.K. Kommer, jurnalis Belanda yang merintis KBS pada dekade awal abad ke-20. Satwa itu tak bakal memusingkan badan hukum yang menaungi mereka. Yang penting, hidupnya bisa enak, nyaman, lestari, seperti hidup mereka di habitat asli.
***
Bicara badan hukum KBS memang memusingkan. Kubu Stany Soebakir berhasrat menjadikan KBS sebagai yayasan. Itu ditentang kubu Basuki Rekso Wibowo yang menganggap bentuk tersebut kurang mengakomodasi kepentingan anggota. Dalam bentuk perkumpulan seperti sekarang, kewenangan anggota memang cukup tinggi. Anggota bisa melengserkan kepengurusan lewat rapat umum anggota (RUA). Kubu Basuki sendiri lebih condong pada bentuk koperasi.
Dua badan hukum itu sebenarnya sah karena termasuk bentuk yang sesuai Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) No 53/2006. Bentuk lainnya bisa perseroan terbatas (PT), BUMN, dan BUMD.
Beberapa pemerhati menyarankan agar KBS ”diikhlaskan” saja untuk dikelola pemkot. Sebab, lahan KBS milik pemkot dan satwanya milik negara. Kalau diserahkan pemkot, mungkin bentuk badan hukumnya adalah BUMD. Bisa jadi seperti PDAM atau PD Pasar Surya.
Meski begitu, belum ada jaminan bahwa pengelolaan KBS oleh pemkot akan membuat kebun binatang lebih baik. Lebih-lebih jika warna politik begitu dominan memasuki sangkar-sangkar satwa. Bisa-bisa banteng di KBS kulitnya berganti merah, unta diberi baju kuning, atau jalak bali berparuh biru.
Atau ada juga ketakutan KBS hanya jadi sapi perahan. Kekhawatiran itu bisa dimaklumi. KBS termasuk ladang duit. Setiap sudut bisa dikaryakan untuk meraup pundi-pundi rupiah, termasuk dari duit (maaf) pup dan pipis. Bayangkan saat-saat insidental (seperti libur Lebaran dan tahun baru), jumlah toilet di KBS bisa mencapai 21 titik. Padahal, saya hitung kasar, di luar peak season, toilet di KBS dalam sehari bisa menghasilkan sekitar Rp 500 ribu.
Kekhawatiran itu tidak hanya terjadi dalam bayangan saya. Seorang anggota Persatuan Kebun Binatang Seluruh Indonesia (PKBSI) pun berpikir demikian. Melalui pesan singkat, dia mengatakan, tidak ada satu pun kebun binatang di Indonesia yang dikelola pelat merah masuk kategori bagus. Kalau yang ditakutkan seperti alasan di atas, apa tidak satwa lagi yang jadi korban? Lagi-lagi, yang tahu jawabnya mungkin si Tarzan Kota.
By the way, kenapa Tarzan-nya harus kota? Lha iya, kalau Tarzan-nya masih ndeso dari gunung, bisa-bisa dia malah hanya bergelantungan dari satu billboard ke billboard yang lain. Pasti, Tarzan ndeso itu malah bikin problem baru. Kalau ada yang tanya, KBS lebih tepat dikelola siapa, jawabannya barangkali hanya, ”Tanyalah pada Tarzan yang bergelantungan!” (*)
* Wartawan Jawa Pos, emailnya_gunawan@yahoo.com
0 comments on “Andai Ada Tarzan Kota di KBS”Add yours →