Pejabat dan Rakyat pun saling sapa lewat Facebook

Libur akhir tahun membuat saya bisa menikmati pagi hari dengan sedikit santai. Kesempatan membaca koran bisa lebih leluasa dari pada hari biasa yang selalu dikejar oleh jam berangkat kantor. Hari itu dua koran terbitan Surabaya (yang setiap hari tersedia dirumah) masih saja memuat berita penertiban reklame di kota Pahlawan, usai ambruknya reklame di depan hotel J.W. Marriot dan terbakarnya videotron di Jalan Gubernur Suryo, pertengahan Desember lalu.

Usai membaca koran, aktifitas saya lanjutkan dengan ngenet (beraktifas internet). Berbekal ponsel 3G keluaran korea yang saya pairing dengan bluetooth laptop, saya pun tiap hari bisa menikmati internet murah, selain gratisan dari Wi-Fi (Wireless Fidelity) dikantor tentunya. Seperti biasa dalam aktifitas internetan saya tak bisa lepas dari taskbar yang selalu terbuka window outlook express untuk cek email dan browser firefox yang terisi tab url Facebook (salah satu situs pertemanan atau social networking) dan beberapa portal berita online.

Saat membuka Facebook, pandangan selintas tertuju pada salah satu komentar Wakil Walikota Surabaya, Arif Afandi, yang kebetulan ada di Friendlist Facebook saya. Saat itu Wawali menuliskan komentar pada statusnya “Terus mencari formula sistem untuk memperbaiki penataan reklame. Selang beberapa menit komentar, pendapat, masukan dan kritikan silih berganti hadir di Facebook Wawali. Komentar balasan itu mayoritas datang dari warga Surabaya, dan diskusi antar warga pun terjadi. Memang, usai dua peristiwa reklame tersebut, permasalahan media luar ruang di Surabaya menjadi polemik.

Sekitar jam pulang kantor (kira-kira jam empat sore) Arif Afandi membalas diskusi yang terjadi di Facebooknya. Wawali berterima kasih atas masukan dan pendapat dari warganya, karena mau berbagi memikirkan persoalan reklame yang selama ini jadi momok di Surabaya. Dan “orang nomor dua” di Kota Pahlawan ini berjanji akan menuntaskan permasalahan tersebut.

Itulah yang terjadi di Surabaya akhir-akhir ini. Dan interaksi antara Wawali (sebagai pejabat publik) dan masyarakat via Facebook itu bukanlah yang pertama. Selain bertemu di situs pertemanan, Wawali juga kerap berinteraksi dengan warga melalui blog pribadinya.

Tak hanya Wawali, beberapa pejabat publik di Surabaya tercatat juga “gila” blogging (menulis diblog). Sebut saja disana adalah Alisyabana (Ketua KONI Jawa Timur dan mantan Sekkota Surabaya), AKP Andy Arisandi (Kasatreskrim Surabaya Utara), Agus Imam Sonhaji (Kabina Program Pemkot), sampai Tjahyani Retno Wilis (Istri Wawali yang juga wakil ketua PKK Surabaya). Aktifitas mereka ini terjadi bukan lantaran mereka tak punya kesibukan, tapi lebih karena tersedianya akses internet yang mudah dan murah. Di Surabaya sendiri, hot spot atau akses point yang bisa digunakan untuk berinternet tanpa kabel (Wi-Fi) tersedia cukup banyak. Tidak hanya digedung pemerintahan dan mall namun juga tersedia ditaman-taman kota serta beberapa sekolah.

Dari fakta yang ada, aktifitas diatas malah mendukung kerja para pejabat tersebut. AKP Andy Arisandi misalnya. Perwira Polisi ini seringkali membantu tugas para wartawan karena ia kerap menuliskan runtutan kejadian kriminalitas yang sedang ia tanggani diblog miliknya.

Langkah go blog (blogging) dan aktif di situs social networking seperti yang dilakukan para pejabat publik itu bisa dibilang merupakan langkah maju dan perlu diapresiasi. Aktifitas tersebut tidak sekedar mencerminkan si pejabat mulai melek IT (Information Technology). Namun lebih dari itu, hal ini menunjukkan budaya baru dari hasil konvergensi Teknologi Informasi dan Telekomunikasi di Indonesia mulai teradaptasi masyarakat.

Seperti yang diketahui bersama, perkembangan TIK (Teknologi Informasi dan Komunikasi) di Indonesia tak lagi bisa dibendung. Fenomena perkembangan handset dengan berbagai keunggulan membuat dunia dalam genggaman penggunanya. Dari data yang ada, pertumbuhan pengguna internet terus merangkak naik, diperkiraan mencapai angka 20 juta. Sedangkan pemegang handphone diperkirakan dua kali lipat melebihi pengguna internet (sekitar 50 juta). Selain akses internet nirkabel via Wi-Fi, layanan data menggunakan GPRS, 3G, ataupun 3.5G coverage-nya juga ada hampir di seluruh kota di Indonesia. Inilah yang kemudian memicu lahirnya generasi C (digital native) yang memulai dan meng-influence budaya diatas, contohnya seperti budaya yang terjadi pada interaksi antara pejabat publik dan masyarakat diatas.

Banyak hal positif yang bisa ditarik dari interaksi online antara pejabat publik dan masyarakat di era konfergen ini. Yang utama, aktivitas tersebut merupakan cara yang baik untuk mentransformasi kebiasaan masyarakat menuju masyarakat yang melek IT. Karena walau mempunyai perangkat yang seharusnya bisa mengadopsi teknologi canggih, namun masih banyak masyarakat yang tidak bisa memanfaatkannya secara optimal. Misalnya, memiliki handphone berjenis communicator maupun PDA yang dilengkapi beragam fasilitas, tapi menggunakannya masih sebatas untuk telpon, sms, dan berpotret ria.

Sementara itu, manfaat dari interaksi online seperti kasus diatas juga mencerminkan sebuah upaya responsibility para pejabat publik pada masyarakat. Keberadaan pejabat publik dimedia-media online setidaknya memungkinkan masyarakat menyampaikan aspirasi, keluhan, dan saran secara langsung. Sama seperti yang terjadi pada diskusi mengenai penataan reklame diatas.

Sebelum adanya fenomena seperti ini mungkin masyarakat banyak yang apatis ketika harus menyampaikan keluhan pada pemerintah. Sebab, tidak jarang keluhan, saran, atau aspirasi masyarakat berhenti hanya di pejabat level bawah. Padahal seharusnya titah pejabat adalah abdi negara, yang mana mereka digaji dari uang rakyat, dan mestinya bertanggung jawab serta respect pada masyarakat.

Jadi, kini misalnya kita kecewa dengan pelayanan pejabat di tingkat kelurahan/kecamatan atau jengkel dengan ulah oknum polisi, daripada keluhan kita cuma ditulis di buku laporan dan berhenti begitu saja, tidak ada salahnya untuk menyampaikan keluhan itu langsung di blog ataupun situs pertemanan milik pejabat terkait. Apalagi saat ini banyak piranti atau gadget yang memungkinkan kita bisa terkoneksi dengan internet secara mudah dan murah. Dan menggembirakannya baik blog maupun Facebook (atau situs pertemanan lainnya) sekarang telah menawarkan akses via perangkat mobile atau handphone. Jadi tak perlu lagi susah-susah datang untuk laporkan pengaduan atau memberikan masukan. Cukup dengan handphone, akses internet, dan sampaikan ke di blog atau situs pertemanan milik pejabat bersangkutan.

Konvergensi TIK yang berdampak lahirnya interaksi online seperti yang ada di Surabaya, setidaknya juga mulai menghilangkan batasan waktu dan ribetnya protokoler. Coba bayangkan, dahulu jika ingin bertemu pejabat setingkat Wakil Walikota, Kasatreskrim, ataupun Kepala Dinas, pastinya harus melalui prosedur yang ketat dan penjadwalan yang sulit. Namun kini hal tersebut bakal tinggal cerita. Karena kapanpun dan dimanapun sekarang kita bisa ketemu dengan pejabat asalkan sama-sama online. Dan fakta-fakta itulah yang tampaknya akan memicu masyarakat lebih cepat mengadopsi IT.

Selain untuk memasyarakatkan IT dan sebagai upaya responsibility pada masyarakat, aktifitas interaksi online para pejabat publik juga berdampak positif bagi si pejabat itu sendiri. Sebab melalui media tersebut mereka bisa lebih dekat dengan masyarakat. Kedekatan dengan masyarakat via teknologi tersebut, otomatis membuat si pejabat juga lebih dikenal publik. Inilah sebuah simbiosis yang membawa keuntungan jangka panjang bagi si pejabat, terutama pejabat yang berada dalam jabatan politik.

Jika mereka sudah dikenal masyarakat, tentu tidak perlu susah-susah lagi memperkenalkan diri ke publik bila waktu pemilihan kepala daerah tiba. Tidak perlu menghamburkan miliaran rupiah melalui iklan seperti yang dilakukan salah seorang politisi yang saat ini mencalonkan presiden RI ataupun seperti kebanyakan para caleg kita.

Melalui blogging dan situs social networking, pengenalan ke publik jadi seperti yang dikatakan sebuah iklan seluler, “Murah tidak repot”. Karena bagaimanapun masyarakat akan semakin apatis pada proses pemilihan umum, jikalau masyarakat tidak mengenal dan dekat dengan sosok calon wakil rakyat ataupun pemimpin daerahnya. Seperti kata pribahasa, tak kenal maka tak sayang. Dan tak kenal, dikau tak akan ku contreng (ku pilih).

Sebenarnya masih banyak medium yang bisa diadaptasi dalam upaya menjalin interaksi antara pejabat publik dan masyarakat, selain melalui blogging dan situs social networking. Namun setidaknya komunikasi dua arah dapat dijalin dengan mudahnya melalui dua medium ini, lebih-lebih jika perkembangan teknologi informasi dan telekomunikasi makin berkembang di Indonesia. Terutama terkait infrastruktur dan terjangkaunya biaya internet, dan inilah Value Added Service (VAS) yang harus berlomba-lomba (secara sehat) diberikan oleh penyedia operator.

Jika hal tersebut terjadi, maka yang diperlukan hanyalah pengetahuan seputar pemanfaatan media-media online pada seluruh lapisan masyarakat. Jadi, jangan bermimpi lagi kalau esok kita tiap sore dan malam bisa berdiskusi dengan Pak Lurah, Pak Camat, Anggota Dewan hingga Pak Gubernur secara online. Bahkan mengajak mereka main games di Facebook juga bukan hal yang mustahil.

By Gunawan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *