Siapkan Sniper dan 50 Perangkap Tikus
Berita tentang Kebun Binatang Surabaya (KBS) belakangan ini sering didominasi kematian satwa dan kericuhan kepengurusan. Tak banyak yang tahu bahwa KBS juga punya pasukan pemburu binatang pengganggu.
GUNAWAN SUTANTO
—
Selepas siang, Anthan Warsito rutin mengitari kandang satwa buas di KBS, menyiapkan perangkap tikus di beberapa titik. Pria yang bekerja di KBS sejak 1994 itu memang punya tugas tambahan sebagai komandan Tim Pest Control (Pengontrol Hama) KBS yang tugasnya, antara lain, menangkap tikus yang berkeliaran di sana.
Tikus-tikus tersebut sangat mengganggu. Mulai mencuri makanan satwa koleksi KBS sampai jadi sumber beberapa penyakit. “Sebenarnya, keberadaan Densus Tikus ini sudah lama. Tapi, sejak hadir TMS, pekerjaan kami dikuatkan dengan surat penugasan,” terang Warsito.
Di lingkungan internal KBS, tim pemburu itu memang dipelesetkan jadi Densus (Detasemen Khusus) Tikus. Tugas utama Warsito sebenarnya menjadi kepala Rekam Data Konservasi KBS. Namun, sejak kehadiran TMS (Tim Manajemen Sementara) KBS, tugasnya bertambah sebagai “komandan” Densus Tikus itu.
Sebagai komandan, Warsito dibantu sembilan karyawan. Mereka bertugas di beberapa titik yang selama ini dikunjungi tikus. Titik-titik rawan tersebut, antara lain, kandang macan, gajah, kompleks animal show, dan sangkar burung besar.
Untuk menangkap si Jerry -tikus dalam film Tom and Jerry- dan teman-temannya, Warsito menyiapkan 40-50 jebakan tikus. Jebakan yang biasa digunakan di rumah-rumah, dari kawat yang dibentuk layaknya sangkar. Di dalam jebakan disiapkan makanan. Jika makanan tersebut tersentuh, pintu jebakan otomatis menutup dan tikus pun terjebak.
Selain itu, anggota tim secara bergantian bertugas sebagai sniper.
Dengan senapan angin, mereka menembaki tikus yang kedapatan di luar sangkar. “Kami siapkan 4 ribu peluru. Tapi, tidak hanya untuk menembak tikus, juga burung kuak (biasa juga disebut koak, Red) yang mengganggu,” kata Warsito sembari berjalan menunjuk beberapa lokasi penembakan tikus. Para sniper tersebut dibekali senapan angin dengan peluru berkaliber 4,5 mili.
Namun, tikus-tikus itu lebih banyak tertangkap jebakan daripada yang tertembak mati. Warsito dkk biasa beroperasi pada sore dan pagi. Mereka menjalankan tugas pukul 15.00-16.00, memasang perangkap, juga menembaki binatang pengerat tersebut. “Pagi kami biasanya ngecek perangkap, ada yang terjaring atau tidak,” ucapnya.
Berdasar pengalaman Warsito, tidak mudah menjebak tikus. Menurut feeling-nya, tikus-tikus itu juga punya insting jika dirinya dalam bahaya. “Kadang kalau sudah ada tikus yang masuk perangkap, sehari setelahnya sangat sulit mendapatkan tikus lagi,” ungkapnya.
Karena itu, Warsito pun punya strategi sendiri. Salah satunya memvariasi umpan dalam perangkap. Tiap hari umpan yang ditempatkan di tiap jebakan diganti. Dari kepala ayam, ikan asin, buah-buahan, sampai sayuran. Strategi tersebut ternyata cukup ampuh. Kini tiap hari selalu ada tikus yang terjebak. “Ya kira-kira tiga-empat perangkap selalu dapat tikus lah,” ujar dia.
Dalam dua bulan terakhir, Densus Tikus berhasil menangkap sekitar 107 ekor. “Jumlah itu gabungan yang tertembak dan yang terperangkap,” papar Warsito sambil mengontrol perangkap tikus di dekat kandang komodo.
Setiap tikus yang kena perangkap dijatuhi “hukuman mati”. Eksekusinya lumayan sadis. Si tikus lengkap dengan jebakannya dimasukan ke dalam air di saluran pembuangan. “Satu-dua jam mati, langsung angkat dan dibuang ke sampah khusus,” terang Warsito.
Selain Densus Tikus, KBS punya Densus Kuak yang tugasnya menembak dan menangkap burung kuak. Kuak merupakan jenis burung laut yang biasa makan ikan. Kuak buruan Tim Pest Control itu jenis malam abu-abu. Selintas burung tersebut mirip kuntul yang tiap sore terbang ke arah KBS. “Yang membedakan kuak dan kuntul warnanya. Kuntul warna putih, kuak abu-abu dan cokelat,” terang Bernard W. Tobing, koordinator tim pemburu kuak.
Pria asal Medan itu menjelaskan, kuak di KBS tidak kalah mengganggu. Selain suka mengutil makanan satwa koleksi KBS, kuak sumber pencemaran. Burung-burung tersebut kerap buang hajat seenaknya dari atas. Selain menimbulkan bau tak sedap, kotoran itu merusak dedaunan. “Kalau kotoran tersebut mengenai kulit manusia, bisa gatal-gatal. Maka itu, pengunjung sering (maaf) cak-cuk ae kalau kejatuhan kotoran kuak,” kata Bernard dengan logat Bataknya.
Selain dengan menembak, tim pemburu tersebut menangkap kuak dengan cara memulut, menggunakan lem perekat. “Kami menembak kuak bukan untuk menghabiskan populasinya, tapi untuk mengendalikannya,” tegas pria yang menjabat Kasi Aves dan Pisces KBS itu.
Tidak semua kuak ditembak mati. Tim kadang hanya memberikan tembakan peringatan ke udara agar burung-burung pengganggu itu pergi. Kuak yang kena tangkap dengan pulut dikumpulkan, diidentifikasi, lalu dibuang ke rawa bakau (mangrove) di Madura. “Terakhir yang kami buang ke sana sekitar 500-an ekor,” terang Bernard sambil mengontrol kandang jalak bali. Dia mendapatkan informasi, bahkan sudah ada kuak yang dibuang ke Madura yang bermigrasi ke Bali. “Saya bisa kenali karena kuak buangan dari KBS kami beri tanda di tubuhnya,” papar dia.
Bernard tidak hanya bertugas mengusir kuak dari KBS. Dia juga diserahi tanggung jawab mengurangi populasi bajing (sejenis tupai) dan biawak. Keberadaan dua hewan itu di KBS membahayakan. Tidak hanya menjadi kompetitor satwa koleksi dalam menghabiskan makanan, tapi juga membunuh telur-telur burung tertentu.
Kala satwa koleksi KBS banyak yang mati, ada hewan yang populasinya terus bertambah, yakni kucing liar. Keberadaan si Tom -kucing dalam film Tom and Jerry- itu juga sumber masalah. Dia suka menyerobot makanan satwa pemakan ikan.
Untuk mengurangi populasi kucing tersebut, diterjunkan Densus Kucing yang dikomandani Lastri Pujiono. Tugas mereka tidaklah semudah tim pemburu tikus dan kuak. Sebab, pemburu kucing tidak mungkin membunuh satwa mamalia itu. “Jangankan membunuh, kami menangkap saja kerap dicerca pengunjung,” ungkap Lastri.
Karena itu, mereka menggunakan jaring. Kucing-kucing tersebut lalu dikirim ke rumah sakit hewan untuk diperiksa kesehatannya. Yang jantan dikebiri agar jika dipindahkan ke tempat baru tidak menimbulkan masalah pembiakan yang tak terkontrol.
Setelah sehat, kucing-kucing itu memang dilepaskan ke beberapa tempat baru. Tempat pembuangan harus memungkinkan bagi si Tom untuk dapat mencari makan sendiri. Selama ini kucing-kucing tersebut dibuang di sekitar wisata mangrove, Rungkut. Terakhir, Lastri dan kawan-kawannya membuang 38 ekor kucing.
Salah satu tantangan pemburu kucing adalah pengunjung KBS. “Biasanya, kalau ada pengunjung yang senang kucing ya mencemooh kami. Karena itu, kami biasanya menangkapi mereka saat kebun binatang tutup,” jelasnya. Tidak sedikit juga kucing yang malah dirawat pemilik warung di KBS.
Lastri berharap agar Dinas Peternakan Provinsi Jawa Timur ikut memikirkan satwa-satwa liar yang mengganggu satwa koleksi KBS. “Di luar negeri ada penangkaran khusus untuk satwa-satwa liar sehingga keberadaannya tidak mengganggu lingkungan,” tuturnya.
Populasi kucing di KBS tidak hanya akibat perkembangbiakan di situ. KBS kerap mendapatkan “sumbangan” kucing liar yang dilepas orang luar. “Saya pernah mendapati pengunjung yang membawa kucing dan melepaskannya di sini. Ketika kami marahi, dia hanya bisa pasrah. Katanya kasihan kalau hidup di luar, tidak dapat makan,” paparnya.
Anggota TMS KBS Ahmad Saerozi bahkan sempat jengkel. Sebab, ada sebuah rumah sakit swasta yang sengaja melepaskan puluhan kucing ke KBS. “Kami baru saja melepas sejumlah kucing dari dalam KBS. Eh, saya lihat ada orang membuka garasi mobil dan mengeluarkan puluhan kucing,” cetus pejabat dari Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Jawa Timur itu. “Saya tanya dia dari sebuah rumah sakit swasta. Tapi sudah lah, tidak perlu saya sebut rumah sakitnya. Biar kami saja yang menanggung,” lanjut Saerozi. (*/c9/cfu)