Tulisan saya di harian pagi SURYA


Sehari menjelang Hari Anak Nasional muncul berita, Julia Perez Goyang Erotis di Depan Anak-anak (Surya, 22 Juli 2008). Agaknya ini menjadi lumrah. Dengan asupan seperti ini, tak heran bila anak matang sebelum waktunya.

Bila beberapa tahun silam eksploitasi anak lebih banyak terjadi pada kasus mempekerjakan mereka di jalanan, saat ini fenomenanya sudah berganti dan lebih merisaukan. Secara tidak sengaja eksploitasi anak mendompleng perkembangan media.

Contoh nyata ketika salah satu kandidat Gubernur Sumatera Utara, memakai dai cilik jebolan kontes dai cilik sebagai pemeran iklannya. Dalam iklan berudrasi 30 detik itu dai cilik ini seolah sedang berceramah tentang contoh pemimpin yang baik. Ujung-ujungnya mengarah pada sosok pasangan calon gubernur.

Padahal dalam butir etika pariwara, ketentuan tata krama pemeran iklan sudah dijelaskan anak tidak boleh digunakan untuk mengiklankan produk yang tidak layak dikonsumsi anak-anak, tanpa didampingi orang dewasa.

Lihat juga jam tayang acara televisi yang dulu banyak diisi acara anak (sekitar jam bangun tidur siang sampai sore) kini malah dijejali tayangan infotainment. Jangan heran jika para orang tua yang habis waktunya di tempat kerja kalah informatif dengan sang anak, ketika bicara kasus perceraian Kristina atau sensasi goyang gergaji Dewi Persik. Ini belum terhitung betapa fasih anak melantunkan lagu dewasa daripada lagu anak.

Media yang seharusnya memiliki fungsi kontrol sosial kadang malah kurang peka. Yang terjadi justru sebaliknya, media banyak yang hanya mengejar pasar dengan mengikuti arus perubahan segmentasi konten anak-anak ke konten remaja. Misalnya salah satu kontes pencarian bakat penyanyi cilik di televisi. Jika dipersentase, berapa banyak kontestan cilik bernyanyi lagu anak? Namun sisi baik dari acara itu juga banyak, salah satunya memacu anak untuk kreatif dan berani tampil.

Kondisi ini juga menjalar pada majalah atau tabloid anak-anak. Banyak majalah ataupun tabloid yang kemudian sedikit mengeser segmentasi mereka dari anak-anak menuju ke majalah remaja atau ABG. Kalaupun ada majalah anak yang masih murni dengan konten anak, pasti segmentasinya lebih untuk majalah anak usia dini atau prasekolah.

Majalah yang tetap menyajikan konten anak menjadi kembang kempis. Ini diakui oleh pengelola majalah anak di Jawa Timur. Menurutnya, walau ayah dan ibunya setuju berlangganan, tetapi anak justru menolak karena alasan majalah itu tidak gaul.

Tak heran jika kemudian menimbulkan efek bola salju terhadap masalah yang terjadi pada anak-anak, termasuk berdampak pada tingkat kenakalan mereka. Saat ini diperlukan regulasi yang jelas terhadap kasus muatan konten dan eksploitasi pada anak. Mungkin juga perlu membuat gerakan nasional untuk menyelamatkan anak-anak sehingga ke depan kita tidak lagi merayakan Hari Anak Nasional namun yang tidak berasa anak-anak.

By Gunawan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *