pengakuan-Freddy-Budiman

PENGAKUAN Freddy Budiman yang diungkapkan dengan nyokot sana-sini sebenarnya bukan hal baru. Rasanya, jika di kasus korupsi Freddy ini layaknya Nazaruddin. Piawai bersenandung. Kadang nyanyiannya merdu (benar), kadang ya fals (modal nuduh saja).

Selain pernah curhat ke Haris Azhar (koordinator KontraS), ternyata Freddy juga pernah membuat pengakuan yang sama pada peneliti Central for Detention Studies (CDS). Saat itu CDS tengah membuat penelitian tentang lapas-lapas di Nusakambangan. ’’Sayangnya ketika itu Freddy tidak mau menyebut nama-nama petugas yang terlibat pada kami,’’ ujar Direktur CDS Gatot Goei.

Benar atau tidaknya nyanyian Freddy Budiman sebenarnya sudah tak banyak yang bisa diharapkan. Sebab bandar legendaris itu telah tiada. Kalau saja pengakuan Freddy ini dari dulu dibesar-besarkan oleh sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM), mungkin ceritanya akan berbeda.

Cara membesar-besarkannya mungkin bisa membuat petisi dan gerakan masif untuk mendesak pemerintah mengungkap pengakuan Freddy. Kurang lebih mirip gerakan koalisi masyarakat sipil melawan kriminalisasi terhadap para pimpinan KPK beberapa waktu lalu.

Jika kondisinya seperti itu, dan diikuti keseriusan Polisi atau BNN mengungkap pengakuan Freddy, mungkin yang terjadi dalam perkara ini layaknya Film American Gangster. Tak menutup kemungkinan Freddy bisa ’’dipaksa’’ untuk mengungkap jaringan yang lebih besar oleh polisi atau BNN.

Seperti kisah nyata mafia narkoba Frank Lucas yang diajak bekerjasama Richie Robert -polisi berintegritas yang direkrut New York Drug Enforcement Agency­- dalam American Gangster. Dalam film itu duet Frank dan Richie akhirnya berhasil membongkar sindikat peredaran narkoba secara masif.

Kasus yang diungkap Frank dan Richie itu sampai kemana-mana. Termasuk terungkapnya praktik pemerasan dan suap yang dilakukan separo dari seluruh anggota polisi di New York. Juga terbongkarnya keterlibatan Unit Khusus Penyelidikan Obat Bius.

Dikisahkan juga dalam menjalankan bisnis narkobanya Frank melibatkan tentara. Pengiriman heroin dari Vietnam yang kemudian diracik lagi dengan nama Blue Ocean dilakukan dengan memanfaatkan armada tentara Amerika. Keterlibatan tentara itu persis seperti kan seperti ocehan Freddy ke Haris.

 

***

Selama ini para penggiat HAM kerap menyebut eksekusi mati yang bertujuan membuat jera para bandar ternyata tak linier dengan peredaran narkoba di Indonesia. Peredaran narkoba dinilai terus meningkat meskipun eksekusi mati beberapa kali dilakukan.

Namun para aktivis anti narkoba seperti Granat biasanya memiliki pandangan yang bertolak belakang. Mereka melihat masih tingginya angka pengungkapan narkoba ya menunjukan polisi atau BNN benar-benar bekerja. Ya, pendapat keduanya memang masuk akal.

Kalau saya sendiri melihat sepertinya pemerintah perlu lebih serius memperhatikan aparat pemberantas narkoba di negeri ini. Dari memperhatikan kesejahateraan mereka sampai pada mengkaji ulang strategi penindakannya.

Dari sisi kesejahteraan, bagaimana mungkin mengharapkan integritas personel di satuan narkoba atau di BNN jika kesejahteraan mereka pas-pasan. Sebab godaan suap dalam penanganan perkara narkoba nilainya tidak sedikit. Angkanya pasti jauh lebih besar dibanding suap pada kasus tilang.

Mungkin banyak juga polisi yang bertugas di satuan narkoba atau BNN intergritasnya bisa diharapkan. Bisa saja mereka enggan main-main dengan uang narkoba karena takut karma ke anak-cucunya. Tapi kan tidak semua orang percaya karma.

Selain kesejahteraan, anggaran operasional pemberantasan narkoba juga harusnya sangat diprioritaskan. Bagaimana caranya mengharapkan mereka membongkar kasus level hiu jika anggaran operasionalnya hanya cukup untuk menangkap yang kelas teri.

Anggaran yang minim itu membuka celah para pemberantasan narkoba melakukan ’’korupsi” dalam bentuk lainnya. Yang sering saya dengar ialah memainkan barang bukti dengan dalih untuk keperluan operasional. Entah untuk kebutuhan operasional anggota di lapangan atau membayar cepu (informan).

Saya kerap mendengar informasi bahwa barang bukti narkoba yang diungkap ke publik seringkali jumlahnya berkurang dari saat penangkapan. Salah seorang teman menyebutkan kadang polisi juga perlu memberikan narkoba pada informan untuk memancing pelaku lain.

Informasi seperti ini memang seperti kentut. Hanya terasa baunya tapi tak terlihat. Tapi logikanya, bagaimana cara paling mudah mendapatkan narkoba untuk diberikan ke informan kalau tidak dari mengurangi barang bukti perkara-perkara sebelumnya.

Selama saya bertugas melakukan peliputan di kepolisian, saya banyak melibat strategi pengungkapan perkara narkoba banyak yang sekedar mengandalkan peran informan.

Kalau saja dalam penanganan narkoba, petugas diberi kewenangan penyadapan dan hal itu bisa menjadi bukti di pengadilan, mungkin ketergantungan terhadap informan bisa dikurangi. Sebab memanfaatkan informan untuk mengungkap kasus yang lebih besar sepertinya hanyalah sebuah lingkaran setan.

Saat ini ada 58 terpidana mati kasus narkoba di Indonesia. Melihat hukumannya yang cukup berat, tentu penyalagunaan narkoba yang mereka lakukan luar biasa. Rasanya apa tidak mungkin ada yang bisa dikembangkan dari 58 terpidana mati itu untuk memangkas peredaran narkoba di negeri ini? Masa dari 58 terpidana mati itu tidak ada yang bisa diperlakukan seperti Frank Lucas?

 

By Gunawan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *