Sudah hampir tiga minggu persoalan penataan reklame di kota Pahlawan ini masih menjadi pilihan berita utama di koran-koran lokal Surabaya. Sebabnya, ya karena dua peristiwa yang terjadi hampir beruntut pada pertengahan Desember ini. Pertama masalah ambruknya billboard didepan Hotel J.W. Marriot, (15/12), dan disusul terbakarnya videotron yang dipasang di Jembatan Penyeberangan Orang (JPO) Basuki Rahmat, (19/12).
Persoalan yang banyak diangkatpun seputar penataan dan pengelolan reklame di kota ini. Pemkot sebagai regulator lagi-lagi jadi pihak yang tersudut. Setali tiga uang, anggota dewan pun “giat” bekerja dengan membentuk pansus yang konon akan mencari “mafia reklame”. Banyak yang menyebut malapetaka yang terjadi pada reklame luar ruang karena banyaknya ijin reklame yang out of date. Entah giatnya kerja para anggota dewan ini karena memang ingin memperjuangan agar Surabaya tidak menjadi rimba billboard atau ada maksud strategis menjelang 2009. Sebab kalau menyoal out of date, yang terjadi pada ambruknya reklame di J.W. Marriot malah lebih karena faktor kedalaman pemasangan kontruksi yang kabarnya cuma satu meter, yang mana standartnya untuk tiang pancang billboard sedalam dua meter.
Sementara itu seperti yang ditulis oleh Wawali Arif Afandi dalam blognya, persoalan reklame di Surabaya sebenarnya berkutat dari tarik menarik antara pemkot sebagai regulator dan kepentingan pengusaha periklanan (agency). Pemkot bergerak berdasarkan Perda yang belum tentu luwes dengan perkembangan, sedangkan pengusaha jalan dengan berbagai cara yang mendatangkan keuntungan dan efisiensi bagi agency-nya.
Dari kasus tersebut Pemkot lantas mulai gerak cepat dengan menertibkan beragam media luar ruang yang ada di Surabaya, baik yang berbentuk billboard, baliho, bando jalan, dan lainnya. Setidaknya dalam seminggu ini pembongkaran papan reklame banyak dilakukan.
Beragam komentar dan pendapat datang dari warga kota Surabaya. Setidaknya hal tersebut dapat dilihat pada portal berita online yang menyediakan fasilitas komentar dari pembaca. Termasuk juga ada di profil Facebook (situs pertemanan) milik Wawali, Arif Afandi. Saat Rabu pagi (31/12) Arif menuliskan komentar statusnya dengan kalimat “Terus mencari formula sistem untuk memperbaiki penataan reklame.” Komentar, masukan, dan kritikan pun datang ke Facebook milik Wawali. Banyak yang setuju ini semua adalah ulah dari para mafia yang mereka sebut Gendruwo. Bahkan ada yang menyebut Genderuwo sengaja menjual titik-titik reklame ke media buyer dengan harga mahal sedangkan pajak yang masuk ke Pemkot tidak sebanding.
Lepas dari ulah para gendruwo tersebut, sebenarnya saya melihat polemik di dunia reklame Surabaya setidaknya terkait dari teori supply and demand. Agency-agency di Surabaya banyak yang hanya spesialis placement di media luar ruang. Coba hitung sendiri, di Surabaya berapa banyak agency yang spesialis di outdoor dengan yang full service agency ?
Nah karena banyak yang bermain di outdoor, akibatnya banyak agency yang berlomba mencari titik-titik lokasi baru untuk dibangun kontruksi media luar ruang. Dan ini yang pernah saya alami langsung ketika menjadi freelance menjadi desainer grafis. Saat itu saya pernah mendapatkan order untuk menggambar denah lokasi titik-titik lokasi penempatan reklame, dan datanya yang bukan main banyaknya (walau bukan semuanya berlokasi di Surabaya). Kabarnya denah yang saya buat akan diattachkan untuk pengurusan perijinan, entah perijinannya bagaimana saya kurang tahu. Jadi belum tentu ada klien tapi sudah menyiapkan kontruksi-kontruksinya yang begitu banyak. Nah ketika agency berlomba untuk menyediakan titik-titik lokasi, yang terjadi makin parahlah praktik yang dilakukan oleh para genderuwo reklame yang disebutkan kawan-kawan tadi. Bisa jadi karena berlomba membangun kontruksi, pengawasan dan stadartisasi pemasangan terabaikan. Yang ada akhirnya ya seperti tragedi J.W. Marriot kemarin.
Disamping itu kreatiftas yang kurang, membuat atmosfir periklanan di kota Surabaya yang begini-begini saja. Baik klien ataupun audience (warga masyarakat pengguna jalan) hanya disuguhi poster panel, kinetic board, premiere billboard, bando jalan, baliho dan yang agak beda cuma digital billboard atau yang banyak disebut videotron.
Bila dibandingkan kota lain, setidaknya Jakarta ataupun Jogjakarta, disana biro iklannya lebih kreatif memainkan medium outdoor advertising. Di Jakarta misalnya, disana bermain di media luar ruang tidak hanya membuat semacam billboard dan sejenisnya saja. Tempat halte bus, pompa bensin, pegangan penumpang pada Busway, hingga moving adv pun jadi lahan untuk iklan luar ruang. Lebih-lebih diluar negeri, disana iklan-iklan luar ruang berlomba mencari ambient media. Dan sekali lagi ambient media itu tidak hanya ada kontruksi billboard. Jadi pengguna jalan pun merasa tidak dapat sampah iklan, namun yang ada mereka dapat suguhan iklan yang setidaknya membuat mereka tersenyum dan kagum. Inilah yang belum terjadi di kota Surabaya.
Ada gagasan menarik disampaikan salah satu warga melalui Facebook Wawali, bahwa untuk mengatasi masalah semrawutnya reklame luar ruang di Surabaya perlu ada media alternatif. Media tersebut dibisa dibuat dengan cara menempatkan videotron yang isinya iklan-iklan secara kolektif. Jadi tidak perlu lagi terpasang di billboard sendiri-sendiri. Iklan-iklan di videotron tersebut akan muncul secara bergantian (dibuat semacam slide show).
Sebenarnya ini ide menarik, namun yang perlu diberi catatan ialah bagaimana menanggulangi mafia reklame yang akan main pada jam penempatan iklan. Karena jika dibuat demikian maka akan muncul yang namanya waktu tayang semacam prime time, seperti yang ada di televisi ataupun radio. Sebab biro iklan dan klien pasti menginginkan iklannya muncuk tidak hanya sak klebatan (sekilas). Nah kalau tidak diwaspadai jangan-jangan pada jam prime time (misal pada jam padat seperti jam ngantor dan pulang ngantor), para gendruwo yang disebut tadi masih bisa memainkan perannya, yang akhirnya membuat kondisi semrawut.
Dalam sebuah seminar periklanan (yang dihelat saat pelantikan pengurus dan ketua PPPI Jatim yang baru) beberapa waktu lalu, seorang creative director asal agency MAC909, Budiman Hakim mengatakan bahwa sudah saatnya biro-biro iklan di Surabaya bermetamorfosis menjadi full service agency. Sehingga tidak hanya “bermain” di media billboard, baliho, bando dan sejenisnya. Kekuatan televisi lokal setidaknya harus mulai dilirik oleh para biro iklan, ditengah kusutnya permasalahan di medium outdoor. Karena seperti yang kita ketahui, televisi lokal di Surabaya saat ini sudah beragam.
Untuk itu perlu sinergi dari berbagai element, dari biro iklan, pengusaha televisi lokal, dan tentunya peran PPPI. Seperti mungkin bisa mencontoh Jogjakarta dengan gelaran Pinasthika-nya yang diadakan tiap tahun untuk memacu kompetisi iklan lokal. Dengan begitu mungkin agency atau biro iklan akan lebih bergeliat dan kreatif dengan iklan-iklan dan placementnya. Kita tunggu saja, apakah tahun baru akan ada strategi dan kreatifitas baru untuk memecahkan masalah reklame luar ruang di Surabaya ?