Jangan heran pola pikir anak-anak sekarang menyamai pola pikir orang dewasa. Jangan heran pula jika banyak tindakan negatif yang seharusnya tidak terpikirkan oleh anak –anak malah banyak dilakukan oleh mereka, dampak dari pola pikir yang kebablasan. Hal-hal tersebut harusnya tidak terjadi jika eksploitasi dan muatan yang tidak sesuai, tidak diberikan pada anak-anak.
Bila beberapa tahun silam eksploitasi anak lebih banyak terjadi pada kasus mempekerjakan mereka dijalanan, saat ini trend itu sudah berganti dan malah lebih merisaukan. Dengan berkembangnya media massa yang begitu pesat, secara tidak sengaja kita seringkali tidak terasa ada eksploitasi yang mendompleng perkembangan media.
Contoh bila kita cermati, berapa banyak tayangan iklan dimedium apapun yang menggunakan talent anak-anak, yang jelas secara segmen iklan tersebut tidak untuk anak-anak. Kasus baru yang agak terlewat dari pengamatan kita terjadi beberapa waktu lalu ketika terdapat tayangan iklan kampanye salah satu kandidat Gubernur Sumatera Utara, Syamsul Arifin.
Dalam iklan yang berdurasi sekitar 30 detik tersebut, tampak jelas bagaimana tim kreatif melakukan ekspoitasi anak dengan menggunakan talent bintang dai cilik pada materi iklannya. Digambarkan dua dai cilik jebolan salah satu kontes dai cilik di salah satu stasiun televisi nasional itu sedang berceramah tentang bagaimana contoh pemimpin yang baik. Yang mana ujung-ujungnya mengarah pada sosok pasangan Syamsul Arifin dan Gatot Pujo Nugroho.
Padahal dalam butir etika Pariwara, ketentuan tata krama pemeran iklan sudah dijelaskan bahwa anak-anak tidak boleh digunakan untuk mengiklankan produk yang tidak layak dikonsumsi oleh anak-anak, tanpa didampingi orang dewasa. Dari situ jelas bahwa konsumsi atau target audience iklan pilkada itu kan warga beridentitas Sumatera Utara yang berhak menggunakan hak pilihnya, diantaranya adalah orang yang berumur 17 tahun keatas. Bukan untuk anak-anak kan ?
Kenapa sih harus menggunakan endoser anak-anak dalam iklan kampanye ? Padahal dijelaskan UU No.13 tahun 2003 pasal 1 ayat 26 tentang Tenaga Kerja bahwa kelompok anak ialah orang yang berusia dibawah 18 tahun. Terlebih sejauh mana sih mereka (anak-anak) mengerti kualitas pemimpin yang baik sesuai agama yang diceramahkan, dengan kenyataan yang terjadi saat ini di Indonesia ? Serta apakah anak-anak memang boleh terlibat dalam aktifitas politik ? Itulah pertanyaan yang sebenarnya ingin saya tanyakan pada agency atau pihak kreatif yang terlibat dalam pembuatan iklan tersebut. Namun ketika saya mempertanyakan perihal itu di-mailing list periklanan, tidak satupun yang merasa membuat bersuara.
Jawaban hanya saya dapatkan dari salah satu pengurus Perhimpunan Perusahaan Periklanan Indonesia (PPPI) Pusat, Ridwan F.X Handoyo. Menurutnya pihak PPPI memang mempunyai kewenangan dalam menghentikan dan mencabut penayangan iklan. Namun karena jenis-jenis iklan pilkada termasuk iklan lokal dengan masa tayang yang singkat, maka sulit baginya untuk melakukan monitoring dan “menangkap” pelanggarnya.
Pelanggaran seperti itu jelas bukan lagi melanggar etika, namun didalamnya sudah mengarah pada pelanggaran perundangan. Apa jadinya jika anak-anak Indonesia mengalami seperti ini terus ? Belum lagi sekarang ini konten anak-anak dalam media sungguh sangat merisaukan.
Coba kita bandingkan tayangan anak pada media televisi saat ini dengan 15-20 tahun silam. Jam-jam tayang acara yang dulu banyak diisi oleh acara anak (sekitar jam bangun tidur siang anak-anak/sore hari) sekarang malah banyak dijejali oleh tayangan infotainment. Jadi jangan heran jika kita atau para orang tua (yang habis waktunya dikantor) kalah informatif dengan sang anak, ketika bicara kasus perceraian Maya – Ahmad Dhani atau sensasi goyang gergaji Dewi Persik.
Kalau dulu kita yang masih anak-anak menunggu si Unyil, si Komo atau Tongki dilayar kaca, sekarang adek-adek kecil malah kecanduan acara cinta-cintaan remaja, entah itu reality show atau film pendek.
Yang paling membuat saya geleng-geleng kepala ialah ketika dulu kita begitu hafal lagu Bondan Prakoso, Enno Lerian, Trio Kwek-kwek, eh sekarang malah sang adik lebih hafal lagu-lagu yang seharusnya tidak untuk usianya. Kalau tidak percaya coba dengarkan di kantin-kantin Sekolah Dasar, jangan heran kalau anda bakal mendengar lirik lagu Peterpan, Dewa, Nidji dilantunkan oleh anak-anak. Memang mereka juga hafal lagu Bondan Prakoso tapi bukan yang berjudul “si Lumba-lumba” melainkan lagu Bondan saat ini yang bergenre HipHop dengan lirik dewasa, seperti “Keroncong Protokol” atau “X-Presikan”.
Parahnya media kadang kalah kurang peka dengan kondisi demikian, malah yang terjadi sebaliknya. Media banyak yang mengejar pasar dengan mengikuti arus perubahan segmentasi konten anak-anak. Situasi ini bisa saksikan pada salah satu kontes pencarian bakal penyanyi cilik, yang ada disalah satu stasiun televisi. Coba diprosentase, berapa banyak anak-anak kecil yang menyanyikan lagu yang “seharusnya” mereka menyayikan ? Nah jika kondisinya demikian, apa bedanya kontes pencarian bakat penyanyi cilik dengan kontes penyanyi remaja ? Kan lagu yang dibawahkan juga sama. Namun sisi baiknya dari acara itu juga banyak, salah satunya bisa memacu anak-anak untuk lebih mempunyai daya kreatifitas dan keberanian dalam bernyanyi.
Kondisi diatas juga kemudian menjalar pada majalah atau tabloid anak-anak. Banyak majalah ataupun tabloid yang kemudian sedikit mengeser segmentasi mereka dari anak-anak menuju ke sedikit majalah remaja atau Anak Baru Gede (ABG). Kalaupun ada majalah anak yang masih murni dengan konten anak, pasti segmentasinya lebih untuk majalah anak usia dini atau pra sekolah.
Fenomena ini kemudian yang membuat beberapa media baik cetak maupun elektronik, yang tetap menyajikan konten “pure” anak-anak, menjadi kembang kempis. Dengan kata lain mereka susah untuk meraih pasar, bahkan tidak sedikit yang berujung pada gulung tikar.
Hal tersebut pernah saya dengar dari “curhat” pengelola salah satu majalah anak yang sempat mempunyai nama besar di Indonesia Timur. Menurut beliau sekarang ini susah memasarkan majalah anak-anak yang benar-benar memuat konten anak. Kalaupun ibu atau bapaknya setuju berlangganan karena kontennya mendidik, tidak demikian dengan anaknya. Anaknya mengganggap majalah tersebut tidak gaul, ujung-ujungnya tidak terbaca dan membuat orang tuanya memutuskan untuk tidak berlangganan.
Berangkat dari fenomena inilah yang kemudian menimbulkan bola salju terhadap masalah-masalah yang terjadi pada anak-anak, termasuk juga tingkat kenakalan. Untuk itulah pemerintah melalui Menkominfo seharusnya membuat regulasi yang jelas terhadap muatan dan eksploitasi anak-anak. Sehingga anak-anak Indonesia bisa mendapatkan informasi yang sebagaimana mestinya, yang mampu mendidik dan tidak membuat mereka “matang sebelum usianya”.
0 comments on “Dampak Perubahan Segmentasi Pada Konten Anak”Add yours →