Baru-baru ini masyarakat dunia dibuat terbelahak dengan kematian Singa Afrika yang menggantung di kandangnya, di Kebun Binatang Surabaya (KBS). Kematian Michael –nama singa itu- kini memang masih menjadi misteri. Penyelidikan atas perkara itu masih ditangan kepolisian.
Kematian Michael yang aneh bin ajaib itu menambah daftar panjang buruknya pengelolaan konservasi di KBS. Kebun binatang yang di era 70-an sempat mendapatkan predikat terbaik se-Asia Tenggara itu memang terus mengalami pagebluk. Ironisnya hal itu disebabkan persoalan ’’rebutan pakan satwa’’ antar pengelolanya.
Entah sudah berapa kali pertikaian antar pengurus terjadi. Akibat pertikaian itu ethics and animal welfare terkesampingkan. Kondisi satwa yang memburuk karena terabaikan menjadi alat politik untuk saling menjatuhkan. Kematian satwa yang terjadi beruntun seolah menjadi pembenar untuk menjatuhkan pengurus yang berkuasa.
Salah satu satwa langka yang menjadi korban dari kesalahan konservasi di KBS ialah Harimau Sumatera. Dari data yang ada, KBS awalnya memiliki 10 Harimau Sumatera. Namun seiring konflik pengelolaan yang berkepanjangan, hewan bernama latin Panthera tigris sumatrae itu terus bertumbangan.
Setahun lalu ada Harimau Sumatera jantan berusia 13 tahun bernama Rozak mati karena sakit paru-paru. Penyakit itu timbul karena buruknya perawatan terhadap Rozak selama ini. Dia ditempatkan di kandang yang tak layak. Hidup bertahun-tahun di tempat yang lembab dan pengap.
Melani, teman Rozak sesama Harimau Sumatera juga mengalami nasib serupa. Dia kini masih dalam perawatan khusus Taman Safari Indonesia karena menderita gangguan pencernaan ketika tinggal di KBS. Berat harimau betina berusia 15 tahun itu tinggal 60 kg.
Foto tragis kondisi fisik Melani bahkan sudah menjadi sorotan dunia. Majalah terkemuka Amerika Serikat, Time memilih foto Melani yang merana di kandang sebagai ’’The Most Surprising Photos of 2013’’. Tak hanya itu koran terkemuka Inggris, Daily Mail juga memilih judul ’’Zoo of Death’’ untuk liputannya tentang KBS.
Kebun binatang yang harusnya menjadi lembaga konservasi, tempat alternatif pelestarian di luar habitatnya, kini sudah tak nyaman lagi bagi satwa langka, termasuk keluarga Harimau Sumatera.
Dari data satwa KBS, koleksi Harimau Sumatera yang ada merupakan satu saudara. Sehingga mereka tidak mungkin dikembangbiakan. Pemerhati Satwa Surabaya Singky Soewadji menyebutkan koleksi Harimau di KBS juga rata-rata usianya diatas 13 tahun. Artinya mereka sebenarnya sudah tak memiliki reproduksi yang baik. ’’Seumur itu kalau manusia sekitar 60 tahunan, artinya ya sudah monopouse,’’ kata Singky dalam sebuah perbincangan dengan penulis.
Buruknya pengelolaan satwa langka tidak menutup kemungkinan bisa juga terjadi di lembaga konservasi lain di Indonesia. Terutama yang memang tidak dikelola secara profesional. Singky yang pernah menjadi staf ahli Presiden South East Asia Zoo Association ini mengungkapkan hanya segelintir lembaga konservasi di Indonesia yang melakukan pengelolaan satwa dengan baik sesuai ethics and animal welfare.
Kondisi ini tentu sangat merisaukan, mengingat keberadaan Harimau Sumatera di habitat aslinya makin tergerus oleh perusakan hutan. Pembukaan hutan yang dijadikan perkebunan Akasia oleh grup Sinar Mas seperti tulisan Green Peace ini menjadi bukti bagaimana Harimau Sumatera makin terusir dari tempat asalnya.
Temuan Tim Mata Harimau yang dibentuk Green Peace menunjukkan penghacuran hutan tidak hanya mengusir Harimau Sumatera dari rumahnya. Fenomena itu juga membuat Harimau Sumatera dan satwa liar lainnya makin terdesak, dan akhirnya mendekat ke pemukiman masyarakat. Kalau sudah seperti itu tentu masyarakat juga yang menjadi korban.
Dalam sebuah artikelnya, Green Peace menuliskan soal kejadian penyerangan Tok Belang-istilah harimau Sumatera bagi masyarakat Riau- ke warga. Peristiwa itu terjadi 2009, Tok Belang yang kehilangan rumahnya di hutan, kelaparan dan menerkam seorang bapak dan anak warga desa Desa Jumroh, Rokan Hilir, Riau.
Menurut catatan Green Peace, Saat ini hanya tersisa sekitar 400 ekor saudara-saudara Rozak dan Melani di habitat aslinya. Hutan yang menjadi rumah satwa langka itu berkurang pesat mencapai seperempat juta hektar tiap tahunnya.
Upaya Green Peace membuat program Protect Paradise bakal sia-sia jika tidak ada langkah bersama menyelamatkan satwa langka Indonesia. Kita harus bersama mendorong pemerintah bergerak menjadikan issu ini sebagai masalah penting.
Jika tidak maka jangan harap lagi anak-cucu kita ke depan akan mengenal Harimau Sumatera. Mungkin nama itu hanya mereka temukan dalam sebuah foto dan data di wikipedia. Bahwa, Rozak, Melani dan keluarganya merupakan salah satu satwa langka yang pernah hidup di Indonesia.
0 comments on “Ketika Kebun Binatang dan Hutan Tak Lagi Nyaman Ditinggali”Add yours →